Wednesday, December 13, 2017

Kemungkinan Intifada setelah Yerusalem Diakui Ibu Kota Israel


Wacana perlawanan atau "intifada" ketiga di Palestina telah lama muncul dan belakangan kembali mencuat menyusul keputusan Amerika Serikat mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Terlebih, faksi Hamas Palestina telah menyerukan intifada karena menanggap langkah yang diambil Presiden Donald Trump sebagai deklarasi perang.

Intifada pertama terjadi pada 1987-1993, berawal dari kamp pengungsi Jabalia dan menyebar ke seluruh Gaza, Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Sementara yang kedua terjadi pada 2000-2005 dan berawal di Masjid al-Aqsa.

"Intifada ketiga sangat mungkin terjadi karena keputusan AS mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel adalah sebuah titik kemunduran yang membuat perjuangan bangsa Palestina selama ini untuk meraih kemerdekaan menjadi semakin tidak pasti," kata Nostalgiwan Wahyudhi, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI, kepada CNNIndonesia.com pada Jumat (8/12).

Dia mengatakan keputusan tersebut bisa semakin membuat warga Palestina putus asa memperjuangkan aspirasi dan haknya untuk merdeka. Dengan kondisi demikian, warga bisa mengambil jalan keras.

Keputusan kontroversial Trump, kata Nostalgiawan, mempersulit bangsa Palestina yang selama ini sudah terganjal perpecahan antara dua faksi besar di negara tersebut, yakni Hamas dan Fatah yang pro-pemerintah.


"Meski dunia internasional mendukung, mereka tetap tidak memiliki jalan untuk mendobrak kebuntuan itu sehingga gejolak dan pemberontakan bisa saja terjadi," ujarnya.

Secara harfiah, intifada dalam bahasa Arab berarti goncangan atau bergidik. Dalam konteks ini, Intifada berarti pemberontakan warga Palestina terhadap penjajahan Israel.

ntifada pertama berakhir dengan penandatanganan kesepakatan Oslo dan pembentukan pemerintah resmi Palestina. Perjanjian Oslo digagas sebagai resolusi penyelesaian konflik antara Israel dan Palestina pada masa itu.

Perjanjian itu ditandatangani di Washington DC oleh Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang diwakili Mahmoud Abbas, Menteri Luar Negeri Israel Shimon Peres, dan Menteri Luar Negeri AS Warrem Christopher sebagai mediator. Ini adalah pertama kalinya pihak Israel dan Palestina saling sepakat.

Sementara itu, intifada kedua bergolak pada 2000-2005 karena kedatangan Perdana Menteri Israel Ariel Sharon ke Bukit Kuil, di mana Masjid al-Aqsa, Tembok Ratapan, dan Bait Allah berada. Kunjungan Sharon itu dianggap warga Palestina sebagai tindakan provokatif.

Sejak itu, warga Palestina menggelar aksi protes yang akhirnya menimbulkan bentrok dan menelan korban jiwa setidaknya 3.000 orang Palestina dan 1.000 orang Israel termasuk warga sipil, polisi, dan militer.

Intifada kedua berakhir dengan kesepakatan antara Presiden Mahmoud Abbas dan PM Sharon, di mana Palestina berjanji mentetop segala bentuk perlawanan dan Israel bersumpah mengurangi aktivitas militernya terhadap warga Palestina di mana saja.


Kedua peristiwa itu terbukti membuat perekonomian Palestina semakin terpuruk di tengah penjajahan Israel. Meski intifada ketiga diprediksi mungkin terjadi, sejumlah analis juga meyakini Palestina akan meminimalisir eskalasi kekerasan.

Peneliti senior politik Timur Tengah dari Institut Hubungan Internasional Royal Britania, Jane Kinninmont, mengatakan pecahnya bentrokan hingga kekerasan bisa mengancam eksistensi pemerintah resmi Palestina dan perjanjiannya dengan Israel pada intifada kedua

"Eksistensi otoritas resmi Palestina selama ini didasarkan pada kesepakatannya dengan Israel, dan sejauh ini Fatah masih berkomitmen memegang perjanjian itu," kata Kinninmont.

Di luar itu, dia tak memungkiri bahwa harapan warga Palestina terkait kemerdekaan semakin redup.

"Selama bertahun-tahun semakin sulit bagi warga Palestina untuk meyakini solusi dua negara akan benar-benar terjadi. Banyak pemuda Palestina bahkan berpikir hal itu hanya fantasi," kata Kinninmont.

"Bahkan, negosiator handal Fatah mengatakan langkah terbaru AS ini menunjukkan proses perdamaian antara Israel dan Palestina melalui solusi dua negara telah mati," katanya seperti dilansir The Washington Post.

Tak hanya itu, Keputusan Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel pun dinilai dapat merusak perdamaian antara Hamas dan Fatah yang baru saja terjalin setelah semenjak 2007 berkonflik.

"Jika Hamas menyerang Israel dengan rudal, Israel akan membalas dengan serangan udara besar-besaran dan ini akan menimbulkan masalah kemanusiaan. Di sisi lain, jika [Hamas] tidak melakukan apa-apa, AS akan merasa benar dengan sikapnya," ucap Kinninmont.


No comments:

Post a Comment